Cerpen : Teh dan Kepul Kepulangan

cerpen-teh.jpg

Bagi Wirgi, hidup terlampau singkat untuk berlama-lama memajang rengut di wajah. Sebab itu secara otomatis bibirnya senantiasa melengkung menghiasi bentuk wajahnya yang tergolong sempurna untuk disebut sebagai lelaki tampan. Langkahnya tetap tegas memasuki pintu yang lalu disambut oleh petugas bandara dan detektornya.

"Indonesia?"

Pria tinggi berseragam dengan ciri fisik India yang kentara memandangi Wirgi dengan saksama dari ujung kaki hingga ujung kepala sebanyak dua kali. Wirgi tetap dengan senyumnya ditambah dengan sedikit anggukan. Lantas ia memasuki ruangan lebar dengan toko-toko mewah bertebaran dan penuh lalu-lalang manusia usai menerima kembali paspornya dari petugas bandara tadi.

Wirgi seolah-olah telah akrab dengan lekuk dan liku-liku bandara Changi ini. Dengan enteng ia menelusur tempat demi tempat yang biasa ia singgahi untuk membawa oleh-oleh untuk keluarganya di Indonesia. Dan hari ini dia khusus mendatangi kios yang memajang berbatang-batang cokelat dengan manja, menggoda Wirgi untuk memilah-milah sambil membayang-bayangkan ekspresi Efa kala menerima cokelat itu�mungkin diawali dengan wajah terperangah ditandai senyum lebar, meraih cokelat dari tangan Wirgi, mengelus-elus cokelat itu, ditutup dengan peluk girang Efa yang dilingkarkan di kekar tubuh Wirgi. Ini adalah kepulangan pertama Wirgi ke Indonesia dengan status bertunangan dengan Efa. Usai melamar Efa, Wirgi harus kembali ke Singapura untuk kepentingan pekerjaannya selama lebih dari tujuh bulan. Untuknya, itu waktu yang lama sekali. Sangat lama. Sementara rindu terus bercucuran seperti butir mungil keringat yang kerap menghampirinya kala berjalan di bawah langit Singapura yang teriknya kadang menggigit-gigit kulit.

Mata Wirgi menggerayangi rak-rak di mana terpampang bermacam jenis cokelat. Secara spontan Wirgi mengabaikan jenis cokelat yang mengandung alkohol, dan cokelat dengan jenis rasa yang dari namanya saja sudah tampak aneh. Matanya tetap terjaga pada cokelat-cokelat di rak sementara ia melangkah mundur sambil sedikit berjingkat. Langkah kesekian, seorang perempuan menabraknya dari belakang dan sontak membuat keduanya terkejut. Perempuan itu menjatuhkan tasnya.

"Ah, sorry! " ucap keduanya berbarengan. Yang membuat mereka saling berdiam selama beberapa detik. Dari wajahnya, sepertinya perempuan itu berasal dari Jepang atau Korea. Kulit putih yang khas dan bentuk mata agak sipit, juga bentuk hidung dan bibir yang merekah dengan komposisi porsi yang baik membuatnya terlihat sangat cantik. Cantik sekali.

"Kau tak apa-apa� eh, so-sorry, I mean... are you okay?" Wirgi melepaskan diri dari keterpanaan masing-masing tadi dan sedikit kelepasan berbicara dengan bahasa Indonesia.

"Kau orang Indonesia? Ma-maaf, tadi salahku, aku berjalan tidak hati-hati." keterkejutan Wirgi bertambah karena perempuan ini berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik�meski dengan logat yang terasa aneh. Tapi keterkejutan itu Wirgi singkirkan lebih dahulu dengan mengambilkan tas perempuan itu yang tadi terjatuh di lantai.

"Iya. Kau bisa bahasa Indonesia? Kalau boleh tahu, dari mana asalmu?" tanya Wirgi seraya menyodorkan tas tersebut.

"Aku dari Yokohama. Tapi aku sudah cukup lama tinggal di Singapura dan satu kamar dengan orang Indonesia yang juga mahasiswi sepertiku. Soal bahasa, aku yang meminta temanku itu mengajariku. Aku memang suka mempelajari bahasa asing." Wirgi mengangguk paham mendengar penjelasan perempuan Jepang itu.

"Ah, aku duluan, ya. Maaf soal tabrakan tadi." Ucapnya terburu-buru. Setelah membungkuk pada Wirgi, ia membawa tentengan beberapa batang cokelat ke kasir lalu pergi keluar dari kios cokelat itu.

Ketika hendak beranjak melanjutkan pencarian cokelat di antara hamparan cokelat di sekitarnya, mata Wirgi tertahan pada ujung sepatunya. Sebuah bros berkilau tergeletak di sana. Bros hijau mungil yang cantik itu sepertinya berharga karena ada mutiara yang menghiasnya.

Pasti milik perempuan Jepang tadi!

Dengan cepat Wirgi meraih beberapa cokelat secara acak dan membawanya ke kasir, membayar belanjaan. Lalu melesat keluar sambil mengingat-ingat ke arah mana perempuan Jepang tadi pergi.

***

Andai tak menengok jam atau arloji di tangan, sulit membedakan apakah di luar bandara ini siang atau malam. Suasana bandara dengan gaya gedung futuristik nan megah ini begitu lapang kala mendongak ke langit-langitnya. Ada tempat-tempat di pinggir jendela yang langsung menunjukkan pandangan ke pesawat-pesawat yang terbang dan mendarat. Tempat itu dilengkapi sofa, karpet, dan kasur tipis empuk yang disempurnakan dengan beberapa bantal ukuran besar. Tampak serombongan kecil orang Italia berbaring, berleha dan bercakap di sana. Tak jauh dari sana, ada eskalator menuju tempat menunggu terfavorit bagi sebagian calon penumpang pesawat. Komputer-komputer berdiri terpancang rapi berdampingan dengan deretan televisi layar besar lengkap dengan video games yang teramat memanjakan orang untuk menunggu. Dan satu tempat lain tepat di dekatnya, ada foodcourt.

"Ah�. Arigatou! Thank you! Terima kasih!" Seru perempuan Jepang itu dengan girang sambil mengucapkan terima kasih dalam berbagai bahasa seperti mencari mana ucapan yang paling pantas, lalu mendekap benda kecil di genggamannya itu ke dadanya. Seolah-olah itu adalah benda yang lebih penting dari apapun�nyawanya sekalipun. Bros. Bros yang ditemukan Wirgi tadi.

"Untunglah aku menemukanmu di sini." lega Wirgi dengan senyum andalannya sambil menatap ramah gadis di depannya ini. Mereka lalu berbincang dengan tenang meski foodcourt ini penuh sesak dan ramai.

"Ini pemberian nenekku. Aku sempat bingung apa harus kusimpan saja atau kubawa ke mana-mana. Ini sungguh berharga untukku." Perempuan itu memutar-mutar bros itu di jemarinya. Seolah benda itu telah hilang puluhan tahun.

"Pasti kau amat menyayangi nenekmu dan bros itu. Sepertinya sangat terawat."

"Tentu! Ketika kau menyayangi sesuatu, kau akan sangat menjaganya, bukan?"

Pikiran Wirgi mendadak melayang jauh ke negara seberang di mana wajah Efa muncul di kepalanya. Rindu yang menggebu membuat hari ini teramat istimewa. Ia akan pulang dan langsung menyiapkan hal-hal istimewa bersama Efa setibanya di Jakarta. Pernikahan!

"Ah, maaf, boleh akutahu namamu?" tanya Wirgi. Pandangan perempuan itu yang sedari tadi terfokus pada bros, kini mendongak menatap Wirgi. Lalu tersenyum.

"Namaku Takayama. Midori Takayama. Tapi silakan memanggilku Midori." Hangat Midori memperkenalkan diri.

"Namaku Wirgi."

"Wi.. Wi.. Wir�"

"Wirgi."

"Wigi.. Wir.. gi.. Wirgi! Hehehe� Nice to meet you , senang berkenalan denganmu." Midori tampak kesusahan mengeja nama Wirgi.

"Sama-sama, Midori. Ngomong-ngomong, kau akan ke mana?" pertanyaan itu dilontarkan Wirgi bersamaan dengan pelayan yang mengantarkan secangkir teh ke meja mereka. Lalu Wirgi meraih lalu membubuhkannya gula. Mengaduknya.

"Indonesia. Aku akan menyusul teman sekamar yang kuceritakan tadi untuk berlibur di sana. Kupikir menyenangkan ke negara indah itu dengan kemampuan berbahasaku yang cukup lancar." Jelas Midori sambil memasukkan kembali bros tadi ke tasnya. Sementara Wirgi hampir tertawa mendengar kata 'negara indah' yang disebut Midori tadi.

"Indonesia? Jangan-jangan kita satu pesawat?" Wirgi dan Midori pun sama-sama mencocokkan nama pesawat yang akan membawa mereka terbang ke Indonesia. Senyum mengembang kala memastikan bahwa mereka satu pesawat. Bangku bersebelahan pula!

"Nanti kalau ada waktu, kita bertemu lagi ya, di Indonesia." Midori semringah.

"Tentu saja, kau akan kukenalkan pada kekasihku juga. Aku jarang bertemu orang asing seramah dirimu selama di sini."

"Ah, pasti kekasihmu orang paling bahagia dan beruntung bisa bersama pria baik sepertimu!"

Wirgi tersenyum sipu. Sesaat, mereka saling memandang. Lalu mengaduk cangkir teh masing-masing.

***

Midori meneguknya tehnya perlahan. Lalu menarik napasnya dalam dilanjutkan embusan yang amat tenang. Sedang Wirgi menyeruput tehnya secara biasa. Namun melihat Midori yang begitu menikmati tehnya, ia mencoba meniru cara Midori menikmati teh.

"Ah, aku selalu menyukai teh ini." ujar Midori mendadak bicara seolah membaca rasa penasaran Wirgi.

"Aku juga suka teh, tapi hanya sekadar penikmat teh. Aku tak tahu apa beda teh milikku dan milikmu." Wirgi bolak-balik memandangi gelas teh miliknya dan Midori.

"Teh milikku ini jenis sencha , aku membelinya di sana." Tunjuk Midori ke salah satu stan foodcourt yang khusus menyajikan menu-menu asal Jepang.

"Kukira teh hijau ini sangat populer. Apa di Indonesia banyak menjualnya?" lanjutnya. Wirgi menggeleng.

"Mau mencobanya?" Kali ini Midori menawarkan. Dan kali ini Wirgi mengangguk. Midori lalu menuangkan sisa tehnya yang berada di teko ke cangkir Wirgi. Midori segera mencegah Wirgi yang hampir meneguk teh itu cepat-cepat.

"Tak usah buru-buru. Aku biasanya meminumnya sambil mengingat sesuatu�kadang masalahku�dan menghirup aromanya, setelah itu baru meminumnya pelan-pelan. Oh, nikmat sekali!" Wirgi mendengarkan Midori dengan seksama.

Wirgi pun mengikuti apa yang diucapkan Midori. Baru saja mendekatkan wajah ke cangkir, semerbak wangi langsung menyusup ke pernapasannya. Seketika negeri kampung halaman seperti mendadak muncul di pandangan. Senyap ketenangan menggetarkan lidahnya yang mulai mencecap hangat teh yang perlahan-lahan mengalir ke kerongkongannya. Entah karena teh atau racikan Midori yang sedikit menambahkan macam-macam ke tehnya tadi, teh ini terasabegitu nikmat. Begitu kelopak matanya membuka dari pejam, matanya terasa segar. Terlebih di depannya Midori yang baru ia sadari sangat manis dengan poninya yang rapi.

"Midori, apa di bandara ini ada yang menjual teh ini? Sedap sekali! Aku ingin membawanya ke Indonesia."

"Tentu saja." Jawab Midori kembali dengan ramah sambil menerangkan letak kios yang menjual teh tersebut.

"Ngomong-ngomong, pesawat kita berangkat jam dua, kan?" tanya Wirgi untuk memastikan ingatannya pada Midori. Midori mengangguk. Sementara jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul satu lewat dua puluh menit.

"Aku mau membelinya." Wirgi bersemangat.

"Baik, aku tunggu di sini saja. Kita naik pesawatnya bersama-sama, kan?" Midori kembali menuangkan teh ke cangkirnya. Wirgi dengan tak sabar menuruni eskalator dan matanya mendelik ke mana-mana mencari tempat menjual teh tadi. Raung speaker�yang entah terpasang di sebelah mana bangunan�tak henti bersahut mengabarkan pesawat yang hendak berangkat, atau meminta calon penumpang masuk ruang tunggu. Hampir tidak ada pemberitahuan keterlambatan pesawat.

Sementara di antara debar-debar yang mendadak muncul tak beralasan di dadanya, rasa girang muncul saat ia melihat bungkus teh yang dimaksud Midori. Ia pun memandangi deretan bungkus teh hijau bertulis huruf Jepang itu. Terbayang kembali sosok Efa. Betapa indahnya jika tiap bangun tidurnya disambut wangi teh yang mengepul di dapur rumahnya, dan yang tengah menyeduhnya adalah Efa! Perempuan yang sangat dicintainya. Dalam perjalanan kembali menemui Midori di foodcourt , Wirgi mendadak teringat untuk menghubungi Faris, sahabatnya untuk menjemputnya di Jakarta bersama Efa. Mengorbankan biaya telepon internasional, Wirgi pun menghubungi Faris.

"Hei, Ris, sekitar setengah jam lagi aku berangkat ke Indonesia. Jemput aku!" terdengar suara tawa dan kata "oke" dari Faris dari speaker ponselnya.

"Jangan lupa bersama Efa, ya!" tambah Wirgi. Usai mengatakan itu, hening mendadak muncul di antara percakapan telepon itu. Faris seperti menahan diri untuk mengatakan sesuatu. Tahu ada sesuatu yang sepertinya tidak mengenakkan, Wirgi mendesak Faris menjawab rasa penasarannya.

Seketika ada henyak yang bertubi menghantam sisi terlembut di benak Wirgi.

***

Ada keheranan mampir di tatapan mata Midori kala melihat Wirgi muncul dari eskalator dengan langkah gontai. Ia pun menutup novel yang sejak tadi dibacanya dan menyimpannya di tas saat Wirgi mulai mendekati meja.

"Kenapa lemas begitu?" Midori langsung menodong Wirgi dengan pertanyaan. Wirgi membalasnya dengan senyum. Senyum yang berat. Midori kian paham ada hal serius yang tertimbun di pikiran Wirgi. Muram yang sepertinya baru muncul karena sebelum Wirgi pergi membeli teh, masih baik-baik saja. Sementara Wirgi masih mencoba melenyap kalimat penyesak dadanya yang mengalir dari suara Faris:

Sebenarnya aku tak ingin menceritakan ini. Tapi, Wirgi, kupikir kamu harus tahu meski pasti kau tak akan percaya. Efa selingkuh! Ya, aku berani mengatakannya seperti itu karena sepertinya hal itu kemungkinannya sangat besar. Bayangkan, beberapa bulan sejak kau pergi ke Singapura, dia sering terlihat bersama lelaki lain. Yang sama! Aku tak mau menegurnya, aku tak mau dibilang ikut campur. Dan terakhir, ia menolak untuk ikut denganku menjemputmu dengan alasan masih ada urusan dan akan menyusul diantarkan temannya. Kau mau aku memata-matainya untuk memastikan 'teman' yang dia maksud?

Wangi teh sencha tiba-tiba membuyarkan lamunan pedih Wirgi. Midori tengah mengayunkan pelan cangkir berisi teh itu di depan hidung Wirgi.

"Ini, tehnya masih ada, minum saja biar pikiranmu sedikit lebih nyaman. Meski yang terlezat tetaplah gyokuro, tapi teh ini cukup lumayan." Midori masih menyodorkan cangkir berisi teh itu pada Wirgi.

"Gyokuro?" Wirgi menjabat cangkir dari Midori. Dan mulai menyeruputnya perlahan.

"Iya, gyokuro, itu teh hijau nomor satu Jepang dengan harga yang sangat mahal. Aku hanya beberapa kali pernah meminumnya bersama ayahku di acara-acara besar. Kalau kualitas sencha dipengaruhi waktu panennya, gyokuro diberi perhatian yang rumit. Dinaungi dalam gelap berminggu-minggu. Namun hasilnya luar biasa!" Midori bersemangat.

Obrolan teh ini cukup sedikit mengalihkan perhatian Wirgi dari sakit hatinya. Sesungguhnya ia sempat emosi waktu mendengar kabar tak mengenakkan dari Faris. Namun Faris satu-satunya sahabat yang paling ia percaya. Sulit tidak mempercayainya dan segenap perhatiannya terhadap Wirgi. Wirgi memandangi kepul-kepulan asap dari cangkir sencha di tangannya. Teh dalam cangkir itu menguap, seperti bayangannya tentang Efa yang kelak akan menyeduhkannya teh, menyeduhkan kehangatan di kehidupannya.

Terdengar suara panggilan yang menyebut nama pesawat dan tujuannya yang akan segera berangkat. Perhatian Wirgi dan Midori tersita sesaat, lalu mereka saling berpandangan.

"Itu pesawat kita, ayo ke ruang tunggu." Midori mengaba-aba. Wirgi bangkit dari kursinya dan melangkah berat. Tak seantusias sebelumnya.

***

Hening memendungi isi kepala Wirgi. Sampai pramugari mengabarkan bahwa pesawat telah memasuki wilayah perairan Indonesia pun, Wirgi hanya meresponnya dengan menengok ke jendela. Hanya ada pemandangan laut. Setelah ini akan ada pulau dengan gedung-gedung tinggi yang mencakar langit yang dihitamkan polusi. Perkataan Faris terus terngiang.

Beruntung, di sebelahnya adalah Midori. Yang selalu punya cara untuk mencoba menghibur Wirgi�meski ia tak pernah menanyakan apa masalah yang tengah dihadapi Wirgi.

"Mau kuminta pramugari membawakan teh?" tawar Midori.

"Ah, tak usah repot-repot." Tolak Wirgi dengan halus. Midori menatap mata Wirgi dalam, hingga Wirgi merasa salah tingkah dipandang seperti itu.

"Kupikir, seseorang sepertimu sama sekali tak pantas sedih. Hidupmu terlalu singkat untuk tidak menikmati kebahagiaan." Midori melayangkan senyum pada Wirgi. Kesekian kalinya, Wirgi terhenyak oleh perkataan Midori.

"Sepertinya pola pikir kita sama."

"Maksudmu?"

"Ya, aku pun berpendapat demikian. Seperti halnya pesawat dan bandaranya, hidup hanya persinggahan. Dan terlalu singkat untuk diisi kesedihan." Ucap Wirgi sambil kembali melengkungkan senyumnya.

"Ah, ini yang aku tunggu. Jadi, kau mau kumintakan teh?" tawar Midori lagi. Wirgi mengangguk dan tersenyum.

Namun mendadak ada goncangan hebat yang serempak membuat panik penumpang. Alur terbang pesawat penuh getaran. Lampu memakai sabuk pengaman menyala, barang-barang pada bagasi di atas bangku terbuka dan berjatuhan. Terdengar suara pilot bersahutan�entah dengan siapa�melalui radio-radionya.

"Emergency landing!" sayup terdengar kalimat-kalimat yang tak lagi diperhatikan semua penumpang yang panik. Teriakan berbaur menggema di seluruh penjuru kabin pesawat. Midori memeluk Wirgi kuat-kuat. Air matanya bercucuran. Pesawat mulai terbang makin rendah. Wirgi memejamkan mata dan mengalimatkan doa-doa.

***

Di tempat lain, di sebuah bandara, terlihat seorang lelaki mengendap-endap memotret diam-diam pasangan laki-laki dan perempuan yang tengah bertatap mesra di sebuah kafe. Lelaki itu memakai kacamata dan jaket hitam hingga hampir sulit dikenali wajahnya. Mendekat, duduk di dekat kedua pasangan itu. Menguping obrolan mereka.

"Ah, sayangku Efa, jadi kapan tunanganmu tiba?"

"Mungkin sebentar lagi. Untunglah bertepatan dengan keberangkatanmu ke Australia. Jadi yang kita lakukan selama ini tetap jadi rahasia."

"Ah, paling nanti kau kangen aku."

Mereka tertawa, perempuan itu mencubit gemas hidung pria di depannya. Sementara di bandara yang sama, di landasan terbang yang lapang dan lengang, sebuah pesawat berhasil mendarat�meski secara kasar�ke landasan yang memang menjadi tujuan pesawat itu, dengan ekor pesawat yang penuh kepulan asap hitam. Asap hitam yang menampakkan kobaran api yang menyala-nyala. Menyala-nyala. (***)

Teh dan Kepul Kepulangan

Oleh Andi M E Wirambara

Punya puisi, cerpen, ataupun artikel yang ingin ditampilkan di CARAOO.com? Kirim saja ke redaksi CARAOO.com di zanabid@live.com. Setiap puisi, cerpen, ataupun artikel yang ditampilkan, akan diikutkan link menuju akun facebook/twitter milikmu.

Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen dengan judul Cerpen : Teh dan Kepul Kepulangan. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://zanabiku.blogspot.com/2012/11/cerpen-teh-dan-kepul-kepulangan.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Jumat, 30 November 2012

Belum ada komentar untuk "Cerpen : Teh dan Kepul Kepulangan"

Posting Komentar