Sore yang sederhana. Duduk, dan merindu.
Minuman soda itu langsung meluncur dari dalam botol menuju kerongkongannya yang dahaga. Tidak, sebenarnya ia tidak benar-benar kehausan. Sudah ada beberapa teguk sebelum tegukan terakhir ini yang cukup melipur gerah tubuhnya. Pukul tiga sore, adalah jam matahari bermain-main dengan terik dan bimbang untuk membenamkan dirinya nanti. Ah, bahkan matahari tidak benar-benar membenamkan diri. Tersebab bumi berputar, teriknya masih bisa menjahili dunia bagian lain. Tidak lagi di sini. Di taman kota tempat lelaki ini duduk. Sendiri.
Lehernya terus bergerak mengikuti ke mana arah pandangan matanya mendelik. Sesekali ke arah pedagang kaki lima yang berderet menjajakan jajanan, sesekali ke anak-anak kecil yang bermain lompat-lompatan, dan kini ia meluaskan fokus matanya ke arah parkiran. Lebih jauh lagi, ke arah jalan raya yang dilalui kendaraan yang berlalu-lalang. Konsentrasi pandangannya buyar seketika saat ada getar diiringi nada lagu muncul dari saku celananya. Ya, ini yang sebenarnya tengah ia tunggu. Saat ponselnya berbunyi. Ikon kecil bergambar amplop muncul di layarnya, sebuah SMS yang belum dibaca.
�Kenapa?� begitu isi pesan singkat�yang memang amat singkat�tertayang di ponselnya. Lelaki itu menunjukkan raut yang setengah-setengah. Setengah bibirnya tersenyum sangat kecil. Setengah lagi seolah memaklumi kekecewaan. Tiga puluh menit yang lalu, usai memarkirkan sepeda motornya, ia melangkah menuju bangku yang agak lebih ke dalam taman. Mengetikkan sesuatu di handphonenya, yang balasannya baru saja tiba.
�Harusnya aku yang tanya. Kenapa teleponku tak kau angkat? SMS saja baru sekarang dibalas�� Lelaki itu membalas pesan singkat itu dengan ekspresi datar. Sebuah raut yang tidak akan bisa ditebak secara pasti oleh penerima pesan singkatnya nanti�yang seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Dan memang, dunia mungkin hanya seluas layar ponsel. Seorang ibu bisa memberi kecupan, sepasang kekasih mampu saling membunuh perasaan.
Tiga menit tanpa balasan, ia berkali-kali menekan tombol handphonenya setiap kali lampunya meredup. Mengusap-usap layarnya dengan menggunakan jempol, memandang sayu wallpaper yang memperlihatkan sosok sepasang laki-laki dan perempuan yang saling merangkul.
�Tina, dua puluh tiga juni dua ribu sembilan. Kau dan aku,� gumamnya tiba-tiba. Dahan pohon yang sedari tadi memayungi lelaki ini kian menunduk, seolah hendak mendengar gumaman lelaki itu lebih jelas.
Ia mencoba mengirim ulang pesan singkatnya. Barangkali yang sebelumnya tidak sampai. Dahan yang tadi menunduk terangkat oleh angin dan berayun ke samping�kali ini seolah menggeleng-geleng. Lima belas menit berlalu dengan kekosongan. Dahan pohon kembali menunduk.
***
�Maaf Ger, baru balas sekarang. Aku sibuk tadi,� balasan yang ditunggu akhirnya datang. Dengan cepat lelaki itu membalas pesan tersebut.
�Oh.. kamu sibuk apa? Sudah balik dari Medan?� Ia mengirimnya dengan rasa was-was, entah berapa lama lagi SMS itu akan dibalas.
Ponselnya berbunyi lagi. Lekas saja ia membuka dan membaca pesan baru itu.
�Tugas kuliah, belum kukerjakan sejak dikasih dosen minggu lalu. Iya, sudah. Sudah dulu, ya, aku mau istirahat.�
Raut lelaki itu mendadak berubah. �Minggu lalu?� Gumamnya. Berpikir sejenak, lelaki itu kembali menekan-nekan tombol ponselnya. �Kamu sudah lama balik dari Medan? Kenapa nggak ngabarin?�
Emosinya mendadak naik setengah level. Inilah yang membuatnya membenci hari libur. Gery, lelaki muda yang sehari-harinya menjadi mentor mata pelajaran matematika SMA di sebuah lembaga bimbingan belajar, selalu saja bermasalah setiap kekasihnya, Tina, libur kuliah. Entah rasa rindu yang keterlaluan, atau kecemasan yang berlebihan membuat masing-masing dari mereka saling menyentil sesuatu yang akhirnya berubah menjadi masalah besar.
Taman bertambah ramai. Matahari sudah tidak terlalu menusuk dan cocok untuk menikmati aktivitas di luar ruangan. Gery melirik ponselnya, menekan tombol dengan harapan ada SMS yang masuk tanpa ia sadari. Nihil, tidak ada kiriman apapun. Sepi kembali membebamnya, mengisi dadanya hingga ke seluruh tepi. Rautnya murung.
�Om, kok sedih?� suara lugu yang asing mengejutkan Gery. Seorang gadis kecil yang kira-kira hanya sedikit lebih tinggi dari moncong mobil sedan berdiri di depannya. Kulit putih berambut ikal dengan tatapan mata bundar yang polos, pipinya menggemaskan, kaos mungil yang dipakainya ada noda tanah. Barangkali ia sempat jatuh dan mengelapkan tangan di bajunya itu.
�Eh, sini sini.. jangan ganggu si Om,� seorang wanita menarik tangan anak itu. Lalu mengangguk sambil tersenyum ramah kepada Gery. Gery membalas senyuman wanita yang mungkin ibu dari sang anak.
Mendadak Gery teringat Tina yang sangat menyukai anak kecil. Andai Tina bertemu gadis kecil tadi, tentu ia akan merasa senang dan mencubitinya gemas. Gery mencoba membuka twitter miliknya, menulis sesuatu untuk membunuh kebosanan. �Aku ingin menulis sesuatu. Mungkin tentang pipi, rangkul pundak, atau deru rindu yang selalu di puncak.�
Sesekali Gery berpikir bahwa ia dan Tina telah melewati sesuatu yang salah. Entah apa. Sementara senja mulai menunjukkan tanda-tanda kemunculannya. Benak Gery nampaknya lebih dulu terbenam. Ke masa sebelum semua terjadi.
***
�Apa kau menyayangiku?�
�Kamu sudah menanyakannya tiga kali.�
�Biarin, aku selalu merasa bahagia kalau dengar jawabanmu.�
�Lebay! Hahaha��
�Ayolah��
�Iya, aku sayang, Sayaaaaang!�
�Lagi dong..�
�Tuh, kan, kapan selesainya?�
Tina mencengkeram rambut Gery gemas. Gery tak keberatan menerimanya�justru sambil tertawa kecil. Pasangan kasmaran ini menjadi drama manis sendiri di taman kota sore itu. Benar-benar drama, sebab sekelompok anak kecil berjongkok menonton beramai-ramai kemesraan yang menggugah hormon terlalu cepat dewasa mereka kambuh, yang pula dipacu acara televisi yang didikannya sudah menguap entah ke mana.
Gery berjongkok sementara Tina duduk di atas bangku. Persis seperti prajurit yang tengah berlutut kepada Sang Ratu.
�Kamu nggak duduk di sampingku?� tanya Tina seraya mengusap tetesan air kelapa muda yang baru meluncur dari bibirnya ke celana jins yang ia kenakan.
�Apa kamu merasa norak duduk berduaan di tempat ini?� Tina kembali memasukkan ujung sedotan ke mulutnya.
�Bukan jatuh cinta namanya kalau nggak norak,� Gery bangkit dari posisi jongkoknya, kali ini duduk di sebelah Tina. �Aku baru mau duduk kalau ada perintah darimu, Tuan Putri.� Gery memancarkan senyuman dari bibir juga matanya. Tina tersipu masih sambil menyeruput es kelapa di gelas besar berpermukaan seperti tubuh lelaki macho itu.
Angin selalu hadir di setiap jeda napas romansa yang tengah berlangsung. Kali ini menelusup ke sela rambut sebahu Tina dan menyibakkan wangi parfumnya yang kian membuat senyum Gery kian syahdu. Tatapan Gery menjadi lebih teduh dari pepohonan yang mengatapi taman itu.
Hari itu tepat lima bulan mereka meresmikan status pacaran di tempat yang sama. Lima bulan sebelumnya, diawali dari Gery yang menyatakan perasaannya pada Tina dan disambut tanpa ragu oleh Tina yang diam-diam sudah mengagumi Gery sejak lama. Usai saling mengungkap pernyataan, Gery mengambil sebuah batu yang tak terlalu besar, melemparkannya ke jalan raya di depan taman. Tak lama sebuah mobil melindasnya.
�Lihat! Sekejam apapun waktu melindasku, hatiku untukmu akan lebih keras daripada keras kepalaku!� Gery melantangkan rayuannya. Waktu terus berlalu.
�Besok aku ke Medan,� bisikTina tiba-tiba.
�Ngapain?�
�Aku kan sudah libur. Ortu nelpon terus.�
�Oh...�
�Kok lesu? Takut kangen ya? Kan bisa telponan.�
�Bukan, tapi..� �Tapi?�
�Sudahlah,� Gery menyandarkan kepala Tina ke pundaknya. Tak mengacuhkan orang-orang yang mencuri lirik ke arah mereka. Gery sendiri membayangkan hal-hal yang kurang mengenakkan. Ia selalu khawatir setiap hari libur, selalu saja ada topik yang memancing pertengkaran di antara mereka. Dan mereka akan terpisah selama dua bulan.
***
Kecemasan Gery perlahan terbukti. Dua minggu pertama memang berjalan seperti biasa. Percakapan lancar dari telepon atau SMS. Kelamaan nuansa pesan Tina berubah. Tiap ditanya sedang apa, Tina selalu menjawab sedang bersama Jamal dan teman-temannya. Jamal, diakui Tina sebagai orang yang dulu pernah menyukainya. �Tenang, dia sudah punya pacar, kok, sahabatku juga.� Tulis Tina jika Gery mulai menunjukkan tanda-tanda cemburu. �Jamal tadi nembak aku lagi. Padahal sudah punya pacar.� Emosi Gery memuncak, �Aku bukan mesin kendaraan yang harus terus dipanasi agar tetap terawat, Sayang!� Pertengkaran dimulai.
Komunikasi mereka mulai rusak, Gery berkali-kali meminta maaf pada Tina. Ia tak ingin masalah berlangsung lebih lama. Baginya, indikator keberhasilan rasa cintanya adalah ketika rasa sayangnya jauh melambungi segala bentuk kecemburuan. Mereka berbaikan, namun hubungan sudah terlanjur mengeruh. Hingga hari ini.
Waktu kian menundukkan terik hingga senja perlahan semakin muncul di panggung ufuknya. Gery akhirnya tak tahan lagi, ia raih ponselnya dan langsung menelpon Tina. Tiga kali telepon tak ada jawaban. Terakhir, terputus�seperti sengaja diputus. Tiba-tiba sebuah SMS masuk. Kali ini mereka saling berbalasan.
�Kenapa? �
�Angkat teleponku.�
�Jangan sekarang, aku masih agak sibuk.�
�Sibuk apa memangnya?�
�Nanti-nanti saja kuberitahu.�
Gery menarik napas, ia mendadak bingung apa yang sebenarnya hendak ia bicarakan. Sedikit tergugu, lalu mengetikkan sesuatu.
�Apa kau (masih) menyayangiku?�
Waktu berjalan terasa lambat. Langit sudah mulai gelap dengan penerangan dari semburat senja yang jingga. Dua menit, tiga menit, sepuluh menit. Gery mengacak-acak rambutnya. Ia kembali ingin menelepon Tina, tapi yang pasti hanya kesia-siaan. Gelisah semakin mengerubuni tubuhnya seperti tanda-tanda malam yang akan mengerubuni langit. Sedikit-sedikit mengecek ponselnya, tapi takada balasan yang muncul.
�NAAK!� Teriak seorang wanita melengking di taman itu. Spontan Gery menoleh dan menggeser pandangannya ke arah mana ibu tadi memanggil. Anak kecil yang menyapa Gery tadi! Kini ia sudah di tengah jalan. Gery menyebar pandangannya dan mendapati sebuah mobil melaju cukup kencang. Ditaruhnya ponselnya di bangku taman itu dan berlari secepat mungkin ke arah jalan. Tampaknya pengendara mobil tengah melamun dan tak menyadari ada anak kecil berjongkok di tengah jalan. Gery melompat, pengendara panik menginjak remnya. Terlambat.
***
Sirine meraung di bawah langit yang belum lama mengubah statusnya menjadi malam. Wanita tadi menangis memeluk anaknya erat. Seraya melihat ceceran darahyang tumpah. Darah dari lelaki pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya.
�Ini milik pemuda yang tewas itu?� tanya polisi kepada wanita itu setelah menemukan sebuah ponsel di atas bangku.
�Se-sepertinya, Pak.�
�Baik, kalau begitu kita lihat siapa yang terakhir ia hubungi. Kita kabarkan mengenai kecelakaan ini.�
Sebuah pesan singkat belum dibaca muncul ketika polisi baru akan mengeceknya. Dibukalah pesan tersebut. �Dari Tina..� Polisi membaca isi pesan di bawahnya.
�Menurutmu?�
(****)
Lelaki yang Menanti Ponselnya Berbunyi
Oleh Andi M E Wirambara
Punya puisi, cerpen, ataupun artikel yang ingin ditampilkan di CARAOO.com? Kirim saja ke redaksi CARAOO.com di zanabid@live.com. Setiap puisi, cerpen, ataupun artikel yang ditampilkan, akan diikutkan link menuju akun facebook/twitter milikmu.
�Sibuk apa memangnya?�
�Nanti-nanti saja kuberitahu.�
Gery menarik napas, ia mendadak bingung apa yang sebenarnya hendak ia bicarakan. Sedikit tergugu, lalu mengetikkan sesuatu.
�Apa kau (masih) menyayangiku?�
Waktu berjalan terasa lambat. Langit sudah mulai gelap dengan penerangan dari semburat senja yang jingga. Dua menit, tiga menit, sepuluh menit. Gery mengacak-acak rambutnya. Ia kembali ingin menelepon Tina, tapi yang pasti hanya kesia-siaan. Gelisah semakin mengerubuni tubuhnya seperti tanda-tanda malam yang akan mengerubuni langit. Sedikit-sedikit mengecek ponselnya, tapi takada balasan yang muncul.
�NAAK!� Teriak seorang wanita melengking di taman itu. Spontan Gery menoleh dan menggeser pandangannya ke arah mana ibu tadi memanggil. Anak kecil yang menyapa Gery tadi! Kini ia sudah di tengah jalan. Gery menyebar pandangannya dan mendapati sebuah mobil melaju cukup kencang. Ditaruhnya ponselnya di bangku taman itu dan berlari secepat mungkin ke arah jalan. Tampaknya pengendara mobil tengah melamun dan tak menyadari ada anak kecil berjongkok di tengah jalan. Gery melompat, pengendara panik menginjak remnya. Terlambat.
***
Sirine meraung di bawah langit yang belum lama mengubah statusnya menjadi malam. Wanita tadi menangis memeluk anaknya erat. Seraya melihat ceceran darahyang tumpah. Darah dari lelaki pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya.
�Ini milik pemuda yang tewas itu?� tanya polisi kepada wanita itu setelah menemukan sebuah ponsel di atas bangku.
�Se-sepertinya, Pak.�
�Baik, kalau begitu kita lihat siapa yang terakhir ia hubungi. Kita kabarkan mengenai kecelakaan ini.�
Sebuah pesan singkat belum dibaca muncul ketika polisi baru akan mengeceknya. Dibukalah pesan tersebut. �Dari Tina..� Polisi membaca isi pesan di bawahnya.
�Menurutmu?�
(****)
Lelaki yang Menanti Ponselnya Berbunyi
Oleh Andi M E Wirambara
Punya puisi, cerpen, ataupun artikel yang ingin ditampilkan di CARAOO.com? Kirim saja ke redaksi CARAOO.com di zanabid@live.com. Setiap puisi, cerpen, ataupun artikel yang ditampilkan, akan diikutkan link menuju akun facebook/twitter milikmu.
Belum ada komentar untuk "Cerpen : Lelaki yang Menunggu Ponselnya Berbunyi"
Posting Komentar